Surat Al-Baqarah [2:143]
[Tentang saksi-saksi dan kesaksian]
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
wakadzaalika ja’alnaakum ummatan wasathan litakuunuu syuhadaa-a ‘alaa alnnaasi wayakuunaalrrasuulu ‘alaykum syahiidan wamaa ja’alnaa alqiblata allatii kunta ‘alayhaa illaa lina’lama man yattabi’u alrrasuula mimman yanqalibu ‘alaa ‘aqibayhi wa-in kaanat lakabiiratan illaa ‘alaa alladziina hadaa allaahu wamaa kaana allaahu liyudhii’a iimaanakum inna allaaha bialnnaasi larauufun rahiimu
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
* * *
1). Sebelum melanjutkan perbincangan soal pemindahan kiblat—yang sudah dimulai di ayat 142—tiba-tiba disela oleh permulaan ayat yang membincang soal sifat dasar umat Islam, yang secara sepintas tidak ada hubungannya dengan pembahasan utama. Firman-Nya: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً [wa kadzālika ja’alnākum ummatan wasathā, dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat pertengahan]. Walaupun, dari sisi tema, kelihatannya tidak berhubungan, tetapi peletakannya di sela-sela pembahasan pemindahan kiblat, memaksa kita untuk mengakui adanya hubungan tersebut, bahkan erat, pasti. Karena tidak mungkin Allah menyusun kalimat secara acak dan tak beraturan. Al-Qur’an bukan hanya pedoman hidup tapi juga pedoman bahasa. Menurut Quraish Shihab, “Kata ummat terambil dari kata (tulisan arab), amma-yaummu, yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar yang sama, lahir antara lain kata umm yang berarti ‘ibu’ dan imam yang maknanya ‘pemimpin’; karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.” [1] Dari akar kata yang sama juga lahir kata-kata berikut ini: kata-depan amāma yang berarti “di depan”, kata umamiy yang artinya “internasional”, kata ummiy yang berarti “tak dapat membaca dan menulis”, kata umaymah yang berarti “palu” (martil), kata amam yang artinya “dekat”, kata ma’mŭm yang artinya “makmum (dalam shalat)”, dan kata miammu yang berarti “penunjuk jalan”.[2] Dari sejumlah kata-kata itu kita bisa dengan mudah merumuskan makna yang terkandung pada kata أُمَّة (ummah, ummat). Bahwa pada kata أُمَّة (ummah, ummat) harus selalu ada unsur-unsur ini: imam (pemimpin yang berdiri di depan seraya memberi komando dan arah yang harus ditempuh), ma’mŭm (pengikut yang patuh kepada imamnya), umm (mengayomi dan melindungi seperti ibu terhadap anak-anaknya), sehingga amam (selalu dekat kepada masyarakatnya sebagaimana dekatnya kepada Tuhannya), amāma (terdepan dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, dan tidak justru berkonspirasi dengan pihak-pihak atau negara-negara yang justru melakukan kemungkaran, kejahatan terhadap kemanusiaan), umamiy (dan karenanya wilayah kerjanya adalah seluruh dunia, rahmatan lil ‘ālamĭn), ummiy (tidak terpengaruh oleh pemikiran filsafat dan ideologi manusia, tidak tergoda oleh bujukan harta dan jabatan, karena mereka mengemban amanah dan risalah ilahi), umaymah (seperti palu: memberi keputusan yang tegas dan adil), maka komunitas yang seperti inilah yang berperan sebagai miammu (penunjuk jalan terhadap seluruh manusia). Komunitas seperti inilah yang berjalan dengan sistem khilafah yang benar karena juga dipimpin oleh seorang khalifah yang benar, Khalifah Ilahi, yang menerima mandatnya bukan dari manusia tapi dari Majikan utamanya, Allah Rabbul Alamin. “Kalian adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, (yang tugasnya) menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (3:110)
2). Sekarang gilirannya kita mencermati makna dari kata وَسَطاً (wasathā). Secara harafiah artinya “di tengah”, seperti dalam ayat berikut: “Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah pula) shalat wusthaa (tengah). Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (2:238). “فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعاً (fa-wasath-na biɦi jam’ā, dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh).” (100:5) Secara maknawiah, ada yang mengartikannya dengan “sikap moderat”. Kalau “moderat” yang dimaksud adalah seperti yang kita temukan di dalam kamus: “selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yg ekstrem; dan berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah”; sehingga “mau mempertimbangkan pandangan pihak lain”.[3] Tentu “moderat” seperti itu tertolak oleh pengertian وَسَطاً (wasathā) yang ada dalam ayat ini. Betapa tidak, al-Qur’an sendiri sudah sebuah pandangan yang rasional, yang sesuai dengan فِطْرَة (fithrah) manusia, yang berjalan di صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ (shirāthin mustaqĭm,jalan yang lurus)—baca pembahasan ayat sebelumnya (142)—yang disebut صِبْغَةَ اللّهِ (shibghah Allah), yang sejalan dengan sifat-sifat Allah itu sendiri, karena memang Allah menciptakan manusia menurt فِطْرَة (fithrah)-Nya. Apabila pandangan (al-Qur’an) ini diterapkan di semua lini kehidupan maka niscaya yang tampil adalah tindakan yang proporsional dan berkeadilan untuk semua (tanpa melihat aliran, ideologi, agama, dan kepercayaannya). Apabila pandangan ini di ajak lagi untuk “mau mempertimbangkan pandangan pihak lain”, berarti sama saja dengan meminta al-Qur’an keluar dari pandangannya sendiri yang sudah sedemikian sempurna itu. Dan keluar dari kesempurnaan bermakna kecacatan. Pelajari ayat ini dengan saksama: “Hai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang selalu menegakkan kesaksian (kebenaran) dengan sejujur-jurnya semata karena Allah. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (5:8). Pertanyaannya: komunitas Muslim mana yang melaksanakan ayat ini dengan benar? Jadi masalahnya bukan pada Islam atau al-Qur’an sebagai suatu ajaran, tapi pada penganutnya. Penganut-penganut ini lalu membentuk kelompok-kelompok solidaritas yang dengan mudah diidentifikasi.
Ada juga yang memaknai kata وَسَطاً (wasathā) dengan “berimbang antara dunia dan akhirat, antara material dan spiritual.” Sehingga, katanya, kita tidak boleh melambung tinggi dari sisi ruhani seraya melupakan sisi materi. Menurut pertimbangan akal sehat, pandangan inipun susah diterima. Karena bagaimana mungkin menyeimbangkan dua hal yang nilainya berbeda; atau menurut istilah Fisika, satuannya tidak sama. Dunia berdimensi terbatas, sementara akhirat dimensinya tidak terbatas. Material sifatnya empirikal, sementara spiritual bersifat transendental. Dunia dan akhirat, material dan spiritual, karenanya, tidak bisa didualisasi lalu kemudian didikotomisasi. Cara pandang seperti ini jelas tidak sejalan juga dengan al-Qur’an. Cermatilah ayat-ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepadamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah’ kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempat? Apakah kalian sudah puas dengan kehidupan dunia sebagai ganti kehidupan akhirat? Padahal kesenangan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (9:38) Juga: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, (hanyalah) perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (57:20, lihat juga 3:185) Dan banyak lagi ayat yang senafas dengannya.
Kalau begitu, apa makna وَسَطاً (wasathā) di ayat ini? Jawabannya sederhana: kembalikan ke ayat-ayat sebelumnya, baca minimal mulai dari ayat 124. Penggalan ayat: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً [wa kadzālika ja’alnākum ummatan wasathā, dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat pertengahan], jelas sejalan dengan isi doa Nabi Ibrahim dan Ismail di ayat 128. Di situ kedua Nabi Allah itu berdoa: “رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ (rabbaā waj’alnā muslimayni laka wa min dzurriyyatinā ummatan muslimatan laka, Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepada-Mu dan (jadikanlah juga) di antara anak keturunan kami satu umat yang berserah diri kepada-Mu).” Potongan ayat “umat yang berserah diri” adalah terjemahan dari: أُمَّةً مُّسْلِمَةً (ummatan muslimatan), yang semakna dengan أُمَّةً وَسَطاً (ummatan wasathā, umat pertengahan). Bisa kita katakan bahwa ayat 143 ini adalah jawaban Allah atas doa Nabi Ibrahim dan Ismail di ayat 128. Doanya dimulai dengan klausa: رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا (rabbaā waj’alnā, Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua). Jawabannya pun dimulai dengan penggunaan kata yang sama: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ [wa kadzālika ja’alnākum, dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian]. Doanya menggunakan kata dasar جَعَل (ja’ala, menjadikan), jawabannya pun menggunakan kata dasar yang sama. Kesimpulannya: keadaan وَسَطاً (wasathā) hanya bisa terjadi manakala kita berdiri di pihak Allah, menjadi ahlullah (keluarga Allah), yang berakhlak dengan akhlak Allah, “takhalluq bi akhlāqillah”. Karena dialah PUSAT segala-galanya. Dia berada di tengah-tengah seluruh eksistensi dan realitas. Semua menjadi tidak bernilai apabila tidak disandarkan kepada-Nya. Nama lain dari keadaan seperti itu ialah مُّسْلِمَ (muslim), berserah diri secara total. Maka frase أُمَّةً وَسَطاً (ummatan wasathā, umat pertengahan) seirama dengan frase أُمَّةً مُّسْلِمَةً (ummatan muslimatan, umat yang berserah diri). Maka siapa saja yang berada dalam keadaan وَسَطاً (wasathā) seperti ini, tidak mungkin ghuluw (berlebihan) dan taqshir (kurang) dalam menampilkan agamanya. Apabila kita kompromistis dan berserah diri kepada Khalifah Duniawi, atau kepada filsafat dan ideologi buatan manusia, apalagi kalau jelas-jelas melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, tentu tidak berhak lagi disebut bagian dari أُمَّةً وَسَطاً (ummatan wasathā, umat pertengahan). “Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah (hanya) di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (22:11)
3). Hanya dengan begitulah umat Islam baru bisa menjadi saksi, شُهَدَاء (syuɦadā’), kepada seluruh manusia. Susunan ayat mengantarkan pengertian yang jelas kepada kita bahwa pelaksanaan tugas sebagai شُهَدَاء (syuɦadā’, saksi) hanya bisa terwujud apabila terlebih dahulu menjadi—atau masuk ke dalam golongan— أُمَّةً وَسَطاً (ummatan wasathā, umat pertengahan). “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia”. Kenapa? Karena kata “wasit” berasal dari kata وَسَطاً (wasathā). Nampaknya, penyebutan شُهَدَاء (syuɦadā’, saksi) ini karena Allah hendak melawankannya dengan السُّفَهَاء (as-sufaɦāu, orang-orang bodoh). Pesan Allah: lawan dari شُهَدَاء (syuɦadā’) ialah سُّفَهَاء (sufaɦā’). Dari sini kita lihat bahwa umat Islam itu bukanlah umat yang pasif, yang menerima begitu saja apa yang terjadi di sekitarnya, yang berdiam diri terhadap kejahatan, kezaliman, dan ketidakadilan yang diperaktekkan oleh para penguasa duniawi. Umat Islam tidak bisa disebut أُمَّةً وَسَطاً (ummatan wasathā, umat pertengahan) jika hanya berpuas diri dan bangga menyandang status أُمَّةً مُّسْلِمَةً (ummatan muslimatan, umat yang berserah diri). Alhasil, umat Islam ternyata bukan hanya dituntut untuk menyembah secara ritual (seperti salat, puasa, haji, dan zikir) kepada Tuhannya, tapi juga diwajibkan untuk menyembah secara sosial kepada-Nya. Kalau sokoguru penyembahan ritual ialah menegakkan salat, maka sokoguru penyembahan sosial ialah menegakkan keadilan. Umat Islam, dengan begitu, harus menjadi agen penegakan keadilan, dan terdepan di dalam pelaksanaan amar ma’ruf naɦi mungkar. Setelah itu, baru Rasulullah berkenan menjadi شُهَدَاء (syuɦadā’, saksi) kepada kita. Ingat, tanpa kesaksian Rasul, klaim keberislaman kita di hadapan Allah kelak tidak akan diterima. Pada saat itu, di Hari Pengadilan Allah, Rasulullah adalah justifikator atau stempel atas keabsahan pengakuan kita masing-masing. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” Umat Islam harus menjadi wasit yang adil di tengah-tengah manusia baru Rasulullah juga mau mempersaksikannya di hadapan Allah azza wa jall. Kalau kesaksiannya palsu (emosional, dusta, berat sebelah dan memihak), mereka akan disamakan dengan penyembah berhala (musyrik) dan orang yang durhaka kepada ibu-bapaknya. Sabda Baginda Nabi: “Maukah kalian aku beritahu dosa terbesar diantara dosa-dosa besar?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, kesaksian palsu atau perkataan palsu.” (HR. Tirmidzi no.2224)
4). Setelah tuntas memperkenalkan umat Islam sebagai أُمَّةً وَسَطاً(ummatan wasathā, umat pertengahan) dan شُهَدَاء (syuɦadā’, saksi) di tengh-tengah manusia, barulah Allah kembali membincang soal pemindahan kiblat. Allah seakan hendak memesankan bahwa Baitullah bukan hanya PUSAT ibadah ritual, tapi sekaligus PUSAT ibadah sosial. Selain sebagai kiblat shalat dan tawaf, juga sebagai kiblat keadilan dan kemanusiaan; sebagai PUSAT pelaksanaan amar ma’ruf nahi mngkar. “Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.” Pesan yang dikandung oleh pemindahan kiblat ini sangat jelas: siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Seyogyanya dari Baitullah inilah, dipimpin oleh seorang Khalifah Ilahi, pewaris Rasul, diteriakkan seruan keadilan dan perlawanan terhadap kezaliman ke seluruh dunia. Sehingga jamaah salat (yang safnya melingkari seluruh putaran bola bumi), jamaah haji dan umrah (yang puluhan juta tiap tahun itu) seharusnya menjadi gelombang perlawanan yang bergerak dari PUSAT menuju ke seluruh penjuru dunia, menekan seluruh penguasa-penguasa despotis, tiranis, imperialis, dan zionis (beserta konco-konco dan sekutu-sekutunya) untuk menghentikan kezalimannya. Bukan justru memberi penghormatan dan penghargaan kemanusiaan kepada mereka, atau menghadiahi mereka dengan fatwa-fatwa yang memperpanjang langkahnya untuk bermewah-mewah dan berfoya-foya seraya membagi-bagi kekayaan rakyatnya kepada sekutu-sekutu imperialis mereka. Nabi Ibrahim telah mencontohkan ini kepada Raja negerinya sendiri, Raja Namrut. Dan umat ini—yang dikenal sebagai أُمَّةً مُّسْلِمَةً (ummatan muslimatan, umat yang berserah diri) dan atau أُمَّةً وَسَطاً (ummatan wasathā, umat pertengahan)—adalah penerus مِّلَّة (millah) Ibrahim, bukan penerus مِّلَّة (millah) raja-raja dan tiran-tiran. “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (58:22)
5). Maka itu, pemindahan kiblat ini teramat berat bagi para pembelot itu. Seandainya, pemindahan kiblat hanya sekedar sebagai pemindahan arah salat, sungguh tidak berat. Apa susahnya memutar badan. Tetapi ayat ini benar-benar menyebut pemindahan itu berat: وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللّهُ [wa in kānat lakabĭratan illa ‘alal-ladzĭna ɦadāllah, dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah]. Perhatikan kata لَكَبِيرَةً (la-kabĭratan), disitu ada tambahan huruf la (yang tidak boleh dibaca panjang), karena namanya lam tauqid (lam penguat atau memperkuat arti dari kata tersebut). Sehingga artinya menjadi: “benar-benar berat” atau “sungguh amat sangat berat”. Bentuk ini hanya muncul dua kali dalam al-Qur’an. Yang satunya (2:45) berkenaan dengan salat. Disinilah menariknya sebab kata لَكَبِيرَةً (la-kabĭratan) ini hanya berkaitan dengan salat dan pemindahan kiblat. Beratnya pasti bukan pada perbuatannya, tapi konsekuensi dari perbuatan itu. Yaitu menjadikan salat sebagai “tanɦa ‘anil fahsyā’i wal mungkar” (pencegah dari perbuatan keji dan mungkar—29:45), dan menjadikan Baitullah sebagai PUSAT pelaksanaan amar ma’ruf naɦi mungkar. Namun siapa saja yang ikut di dalam prosesi pelaksanaan amar ma’ruf naɦi mungkar ini, sekecil apapun kontribusinya, Allah pasti akan memperhitungkan imannya dan akan mengampuni dosa-dosanya. Karena إِنَّ اللّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ (innallaɦa binnasi laraŭfur-rahĭm, sesungguhnya Allah, kepada manusia, Maha Pengasih Maha Penyayang). Artinya, orang atau pihak yang tidak ikut didalamnya, imannya dipertanyakan, dosa-dosanya sepertinya tidak akan terampuni.
AMALAN PRAKTIS
Tubuh ada kiblatnya, jiwa ada kiblatnya. Kiblat tubuh adalah Baitullah. Kiblat jiwa adalah Ahli Baitullah (Ahlullah) yang mendapat mandat dari Allah. Memutar tubuh menghadap ke Baitullah adalah perkara yang sangat gampang. Tetapi memutar ketaatan jiwa dari hawa nafsu menuju ke ketaatan kepada Ahlullah, benar-benar berat, kecuali mereka yang konsen kepada keadilan dan kemanusiaan tanpa kepentingan duniawi.